KUDA RENGGONG, BUDAYA KHAS SIMBOL
HARMONISASI
ROLIS AWANG WIDODO
Budaya adalah hasil olah cipta,
rasa, karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan bagi bangsa. Indonesia merupakan
bangsa yang memiliki keragaman budaya sebagai ciri khasnya. Indonesia dengan
banyak pulau, suku bangsa dan kota memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Jumlah
kabupaten atau kota di Indonesia sangat banyak sekali. Sumedang adalah satu
diantara kabupaten yang ada di Propinsi Jawa Barat.
Nah, ketika membicarakan tentang Kabupaten
Sumedang, pikiran kita akan tertuju pada makanan dengan cita rasa yang berbeda
dengan kota-kota lainnya yaitu tahu, yang dikenal dengan Tahu Sumedang. Tahu
Sumedang ini sudah menjadi ikon makanan khas daerah Sumedang Jawa Barat
sehingga Sumedang dijuluki sebagai Kota Tahu. Di Sumedang yang merupakan suku
Sunda, daerah ini dikenal sebagai “Puseur Budaya Sunda” yang berarti Pusat
Budaya Sunda sehingga tidak hanya makanan saja sebagai ciri khasnya. Daerah ini
memiliki pesona luar biasa yang dapat menarik para wisatawan, baik wisatawan
lokal maupun asing. Daya tarik ini baik dari wisata kuliner, tempat wisata, wisata
religi, pesona alam yang indah dan wisata budayanya. Unsur wisata budaya
Sumedang ini yang menarik perhatian penulis untuk mengupas dari sisi lainnya.
Seni Budaya Sumedang memiliki
nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya, hal tersebut dapat dilihat
pada silih asih (saling mengasihi), silih asah (saling memperbaiki diri),
dan silih asuh (saling melindungi)
yang terbungkus dalam hidup kebersamaan. Nilai-nilai ini menjadi ciri khas budaya
Sumedang diantara budaya yang lainnya. Kekayaan potensi budaya Sumedang sudah
banyak dikenal di nasional dan internasional. Jenis-jenis budaya kesenian yang
tumbuh dan berkembang di masyarakat Sumedang antara lain: Kuda Renggong, Reog
Sunda, Upacara Seren Taun, Upacara Adat Ngarot (tutup buku guar bumi rumbak jarami ampih pare), Seni Karinding, Seni
Beluk, Seni Gondang, Seni Tutunggulan, Tarawangsa, Ngaruat Jagat, Nyadap, dan Mahkota
Binokasih yang merupakan peninggalan Kerajaan Pajajaran.
Dari berbagai ragam seni budaya
tersebut, penulis mencoba mengupas tentang Kuda Renggong lebih dalam. Kuda
Renggong merupakan ikon budaya kesenian dari Sumedang yang dimulai sejak tahun
1910 pada masa pemerintahan Kanjeng Pangeran Aria Soerja Atmadja yang dikenal
dengan nama Pangeran Mekah untuk memajukan masyarakatnya dalam bidang
peternakan; seni Kuda Renggong memiliki makna spiritual, makna teatrikal, makna
interaksi dengan sang pencipta dan makna universal; Kuda Renggong membutuhkan upaya
ketrampilan khusus untuk memainkannya agar tidak tenggelam dengan kemajuan
zaman; adanya interaksi kuat antara pemain dengan hewan (kuda) yang dibangun
sebelum dipentaskan. Ini semua sebagai wujud melestarikan seni dan budaya
tradisional Sumedang; Kuda Renggong masih popular dan menjadi hiburan yang
digemari banyak orang hingga level nasional, hal ini disampaikan Wawan Gunawan,
Staf Kementerian Pariwisata RI ketika hadir di Festival Pesona Kuda Renggong
Sumedang Jawa Barat.
Kuda Renggong merupakan kesenian
yang bermula dari seoarang anak laki-laki yang suka mengamati gerakan kuda
bernama Sipan, di Desa Cikurubuk Kecamatan Buah Dua Kabupaten Sumedang Jawa Barat.
Sipan mengamati dan mempelajari gerakan kuda (kepala dan kaki) yang merupakan
gerakan dasar terciptanya kesenian Kuda Renggong atau kuda menari atau kuda
pencak. Hal tersebut karena seekor kuda dilatih untuk melakukan gerakan seperti
melawan pelatihnya dengan gaya pencak silat. Sipan melatih kudanya Si Cengek
dan Si Dengek dengan tekun sehingga menjadi Kuda Renggong. Kesenian tersebut
kemudian berkembang menyebar dengan cepat ke daerah lainnya sampai di luar
Kabupaten Sumedang.
Kuda Renggong yang dikenal dengan kuda
menari dan bergoyang ini, memberikan pandangan kurang baik bagi beberapa orang
tentang adanya eksploitasi hewan dan menyatakan seni Kuda Renggong itu ibarat/simbol
kehidupan.
Untuk menghilangkan image negatif dan membuktikan pernyataan
tersebut, beberapa seniman menjelaskan makna-makna atau pesan yang disampaikan dari
pertunjukan seni Kuda Renggong. Makna
spiritual, pada seni Kuda Renggong memunculkan semangat mandiri pada Upacara
Inisiasi (pendewasaan) ketika anak disunat, dalam hal ini memunculkan
keberanian sebagai bentuk kedewasaannya ketika disunat dan menumbuhkan figur
pahlawan pada dirinya ketika memakai kostum tokoh wayang Gatotkaca. Makna Teatrikal, pergerakan kuda ke atas
seperti berdiri lalu di bawahnya pemainnya serta bermain silat bersama, hal
tersebut menunjukkan teatrikal yang berwibawa dan memesona karena membutuhkan
ketrampilan khusus untuk melakukannya. Karakter-karakter positif seperti kerja
keras, kerja sama, tanggungjawab dan lain-lain nampak pada makna teatrikal. Makna interaksi dengan sang pencipta, perlakukan
pelatih terhadap Kuda Renggong tidak hanya sebagai hewan peliharaan saja tetapi
memosisikan kuda sebagai makhluk sang pencipta yang dimanjakan dari
perawatannya (memilih makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian dan lain-lain)
dalam kondisi yang terbaik sehingga jauh dari kekerasaan hewan. Makna universal, dalam kehidupan manusia
di perbagai tempat, binatang kuda dijadikan simbol kekuatan, kejantanan,
kewibawaan, kepahlawanan dan lain-lain sejak zaman manusia mengenal binatang. Dari
penjabaran tentang makna pertunjukkan seni Kuda Renggong tersebut, dapat
disimpulkan adanya nilai-nilai yang terkandung (kerja sama, kekompakan,
ketertiban, kerja keras, ketekunan, sosial) yang saling terkait dan secara
tidak langsung membentuk karakter masyarakat menjadi lebih baik. Hal ini
ditunjukkan dengan tindakan kerja sama, saling menghargai, kebersamaan,
ketekunan, ketertiban, semangat religius tinggi sebagai wujud rasa syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan simbol harmonisnya kehidupan yang
jauh dari kata “eksploitasi hewan”.
Pertunjukkan Kuda Renggong berupa
seni helaran yang dapat dilakukan di pawai atau festival dengan keliling di
desa-desa atau sebagai bentuk penyambutan tamu kehormatan. Pertunjukkan Kuda
Renggong di pemukiman dilaksanakan setelah selesai anak yang disunat diupacarai,
diberi doa lalu berpakaian tokoh wayang Gatotkaca, dinaikkan ke atas kuda
Renggong dan diarak mengelilingi desa. Kuda Renggong menari mengikuti irama
musik sampai kembali ke rumah anak sunat dan anak tersebut, diturunkan dari
kuda dengan lantunan lagu Pileuleuyan
(perpisahan). Dilanjutkan dengan acara saweran (menaburkan uang logam dan beras
putih), acara puncak yang sudah ditunggu-tunggu banyak orang.
Jika dilakukan di festival, maka
upaya kreasi pada masing-masing rombongan terlihat jelas dari jumlah Kuda
Renggong (tidak hanya satu kuda saja maka menjadi dua hingga empat kuda
renggong), musik pengiring (tidak hanya musik kendang aja, melainkan ada
tambahan alat musik sebagai pengiringnya seperti terompet, gong, kecrek,
genjring kemprak, ketuk, bajidor, tanjidor atau alat musik yang lebih modern),
kostum anak yang sunat (pada umumnya hanya memakai kostum tokoh wayang
Gatotkaca, maka ada penambahan anak putri dengan memakai kostum tokoh-tokoh
dalam dongeng untuk memeriahkannya) serta penambahan aksesoris pada kuda
sehingga para seniman Kuda Renggong mempunyai kesempatan untuk menunjukkan
kreasinya dengan mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan makna yang
terkandung didalamnya.
Kesenian Kuda Renggong mempunyai
daya tarik tersendiri, terlihat dari ketrampilan gerakan kaki, badan dan kepala
kuda mengikuti irama musik yang mengiringinya. Terdapat beberapa jenis gerakan
Kuda Renggong, antara lain: Adean
(gerakan lari ke arah pinggir sehingga seolah-olah melintang), Torolong (gerakan langkah pendek-pendek
secara cepat), Congklang (gerakan
lari cepat dengan kaki menjulur ke depan), Derap/Jagrog
(gerakan langkah kuda biasa dengan gerak cepat), Anjing Minggat (gerakan langkah kaki setengah berlari). Seiring
perkembangan waktu, terdapat kreasi gerakan baru yang dikenal dengan kuda silat
dan gerakan kuda menunduk serta tidur untuk beberapa lama.
Tidak semua kuda bisa dilatih atau
dijadikan Kuda Renggong. Adapun syarat untuk menjadi Kuda Renggong adalah kuda
renggong harus mempunyai bakat dan karakter ketika berusia kurang lebih 20
bulan. Jika dinilai mempunyai bakat, maka kuda dilanjutkan latihan tiga kali dalam
sehari selama tiga hingga lima bulan, baru bisa melakukan pertunjukkan.
Kuda Renggong sedang beraksi
(Sumber Foto: Kebudayaan Kemdikbud)
Dalam pertunjukkan Kuda Renggong,
seni ini mampu mengangkat budaya lain diantaranya seni pencak silat dan iringan
musik tradisonal berupa kendang pecak. Terdapat satu atau dua pemain pencak
silat dalam pertunjukkan Kuda Renggong. Kendang adalah insrumen dalam gamelan
Jawa yang mengantur irama dengan dibunyikan oleh tangan. Musik pengiring yang
penuh semangat dengan tembang-tembang yang saling terkait di sepanjang
pertunjukkan. Tembang-tembang yang dipilih, antara lain Kaleked, Mojang Geulis, Rayak-rayak, Ole-ole Bandung, Kembang Beureum,
Kembang Gadung, Jisamsu dan lain-lain. Seni ini mengiringi pertunjukkan
Kuda Renggong sehingga lebih semarak dengan berbagai kreasi para seniman. Seni
Kuda Renggong ini mempunyai nilai tambah sebagai seni tradisional yang tetap
menjaga seni kelestariannya.
Pada awalnya, kesenian Kuda Renggong
hanya dipentaskan di desa-desa dalam rangka meramaikan acara syukuran/sunatan. Seiring
berkembangnya zaman, kesenian ini terus berkembang sehingga menjadi acara
penyambutan tamu kehormatan, karnaval dan agenda tahunan Dinas Pariwisata Sumedang
setiap tanggal 29 September. Kuda Renggong Sumedang telah menjadi kekayaan seni
tradisional Jawa Barat. Ini ditunjang berdasarkan data Statistik Kebudayaan
tahun 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Barat bahwa Kuda
Renggong merupakan warisan budaya tak benda. Warisan budaya tak benda ini
sesuai dengan Konvensi UNESCO 2003. Aksi ini nampak pada kegiatan Festival
Atraksi Pesona Kuda Renggong di Alun-Alun Tanjungkerta, bulan Maret 2019 lalu,
diikuti oleh 111 ekor kuda renggong dari berbagai daerah Sumedang yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Sumedang. “Berkat Kuda Renggong,
Sumedang jadi terkenal. Bila menyebut Sumedang, kini orang bukan hanya ingat Tahu
saja, tetapi juga ingat Kuda Renggong,” ujar Ade Abdul Kholik (Parktisi Seni
Tradisional dari Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung.
Begitulah seni pertunjukkan Kuda
Renggong yang merupakan seni tradisional dengan nilai-nilai positif yang dapat
diserap dan diterapkan oleh masyarakat Sumedang dan pencinta seni pertunjukkan demi
kelanggengan kelestarian budaya nasional. Inovasi yang terus menerus akan
mempertahankan kesenian tradisional di tengah gempuran tekhnologi. Sebuah
budaya tidak hanya berupa warisan budaya saja melainkan harus memberikan
inspirasi positif yang dapat diambil bagi penikmatnya dan Seni Kuda Renggong
telah menjawab semua itu dengan makna sebagai simbol harmonisasi kehidupan. Ini
semua ditunjang dengan motto “Dina Budaya
Urang Ngapak, Tina Budaya Urang Napak”, yang artinya bahwa masyarakat
Sumedang memiliki tekad dan komitmen yang kuat untuk melaksanakan pelestarian
dan pengembangan budaya Sunda. Mari menjaga dan melestarikan warisan budaya
nenek moyang yang memiliki sejarah dan makna tersirat didalamnya.
Sumber
Rujukan: